Scroll untuk baca artikel
POJOK OPINI

Generasi Rebahan: Salah Siapa?

×

Generasi Rebahan: Salah Siapa?

Sebarkan artikel ini


KABAMINANG.comDi tengah gegap gempita revolusi digital dan modernisasi gaya hidup, muncul satu istilah yang kini populer dan sering menjadi bahan candaan maupun kritik: Generasi Rebahan. Mereka adalah generasi muda yang dianggap lebih senang bermalas-malasan di rumah, tidur sepanjang hari, scrolling media sosial tanpa arah, dan menunda-nunda segala hal hingga menit terakhir. Tapi pertanyaannya, apakah benar mereka malas? Dan kalau pun iya, siapa yang patut disalahkan?

Labelisasi yang Tak Selalu Adil

Stereotipe “generasi rebahan” sering ditujukan kepada generasi milenial akhir dan Gen Z. Mereka dianggap kurang semangat, tidak tahan banting, dan lebih suka kenyamanan dibanding kerja keras. Namun, labelisasi ini sering kali tidak berdasar data yang komprehensif. Apakah benar mereka malas? Atau mereka hanya sedang menjalani hidup dalam sistem yang tidak lagi seperti dulu?

Jika kita cermati, banyak dari generasi muda saat ini yang justru kreatif, adaptif, dan multitasking. Mereka bisa membuka usaha online dari kamar kos, menjadi content creator dengan modal ponsel, atau mengikuti kursus daring sambil kerja part-time. Hanya karena tidak mengenakan seragam dan bekerja dari kantor bukan berarti mereka tidak produktif. Paradigma kerja telah berubah, dan mungkin yang perlu direvisi adalah cara pandang kita.

Tekanan Hidup yang Tak Terlihat

Salah satu alasan munculnya fenomena “generasi rebahan” adalah tekanan hidup yang kian besar. Harga rumah semakin tidak terjangkau, biaya pendidikan dan kesehatan terus melambung, sementara upah tidak mengalami kenaikan signifikan. Di sisi lain, media sosial menciptakan tekanan baru dalam bentuk FOMO (Fear of Missing Out), standar kesuksesan palsu, dan ekspektasi akan pencapaian instan.

Bayangkan menjadi seorang pemuda 20-an yang setiap hari dibombardir dengan pencapaian orang lain: teman sekolah yang sudah punya mobil, influencer seusia yang sudah keliling dunia, atau selebgram yang sukses tanpa terlihat kerja keras. Siapa yang tak merasa kalah sebelum bertanding?

Dalam kondisi mental seperti ini, rebahan menjadi pelarian. Bukan karena malas, tapi karena lelah. Bukan karena tak punya ambisi, tapi karena bingung mau mulai dari mana.

Peran Keluarga dan Sistem Pendidikan

Tak adil jika menyalahkan generasi muda tanpa menyorot bagaimana mereka dibesarkan. Banyak dari mereka adalah hasil didikan “generasi survivor” – orang tua yang tumbuh di masa sulit dan kemudian mendambakan kenyamanan bagi anak-anaknya. Akibatnya, banyak anak dibesarkan dalam lingkungan yang terlalu protektif, serba instan, dan minim ruang untuk gagal.

Sistem pendidikan juga belum sepenuhnya mendukung pengembangan karakter dan kreativitas. Fokus pada nilai, hafalan, dan kepatuhan justru menekan rasa ingin tahu serta keberanian untuk mencoba hal baru. Akhirnya, banyak anak muda tumbuh dengan kebingungan: pintar secara akademis, tapi cemas secara mental dan rapuh saat menghadapi dunia nyata.

Dampak Budaya Instan dan Digitalisasi

Tidak bisa dipungkiri, digitalisasi membawa kemudahan luar biasa dalam hidup manusia. Namun, ia juga menumbuhkan budaya instan. Semuanya bisa didapatkan hanya dengan klik: makanan, hiburan, bahkan hubungan. Ketika segala sesuatu terlalu mudah, kemampuan bertahan dalam proses panjang jadi luntur. Rebahan menjadi pilihan karena “kenyamanan” digital terasa lebih menarik daripada realitas yang keras.

Tambahkan pula algoritma media sosial yang dirancang untuk membuat pengguna terus berada dalam lingkaran konten, maka lengkaplah jebakan generasi rebahan. Mereka tidak malas — mereka tertangkap sistem yang dirancang untuk membuat mereka pasif.

Jalan Keluar: Menyalakan Semangat Bukan Menyalahkan

Menyalahkan generasi muda atas fenomena ini adalah jalan pintas yang tidak menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah empati dan pendekatan yang lebih membangun. Orang tua perlu lebih terbuka terhadap perubahan zaman, sementara institusi pendidikan harus lebih berani mereformasi metode dan kurikulum. Alih-alih menuntut anak-anak muda untuk menjadi seperti generasi sebelumnya, mengapa tidak membekali mereka agar mampu menghadapi tantangan baru?

Pemerintah dan masyarakat juga punya peran dalam menciptakan ruang yang lebih inklusif dan suportif bagi generasi muda. Buka lebih banyak akses untuk pendidikan yang relevan dengan kebutuhan zaman, perkuat literasi digital dan keuangan, serta dorong budaya eksplorasi dan kreativitas.

Bukan Malas, Tapi Bingung

Generasi rebahan bukan semata-mata simbol kemalasan. Mereka adalah cerminan dari generasi yang sedang mencari arah di tengah dunia yang serba cepat, serba digital, dan penuh tekanan. Jika kita ingin melihat perubahan, maka kita harus berhenti menunjuk dan mulai merangkul. Kita harus menciptakan ekosistem yang memungkinkan mereka tumbuh, gagal, bangkit, dan terus belajar.

Karena pada akhirnya, tidak ada generasi yang lahir untuk jadi lemah. Mereka hanya butuh alasan yang tepat untuk bangkit. Dan tugas kita adalah membantu mereka menemukan alasan itu.

(PHT)