Oleh : Adzra Rahmadani Salwa
KABAMINANG.com – Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman agama, suku, budaya, dan adat istiadat. Keberagaman ini adalah identitas bangsa yang seharusnya menjadi kekuatan dalam membangun kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis. Namun, dalam realitas sosial, perbedaan keyakinan masih kerap memicu konflik. Menurut penulis, toleransi beragama merupakan nilai utama yang wajib dijaga agar keberagaman tidak berubah menjadi sumber perpecahan.
Toleransi beragama dapat dimaknai sebagai sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan tanpa memaksakan kehendak kepada orang lain. Setiap warga negara memiliki hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Hal ini telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) yang menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang menghambat atau merusak kebebasan beragama merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Nilai toleransi beragama juga sejalan dengan Pancasila, khususnya sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Sila pertama menekankan penghormatan terhadap setiap pemeluk agama, sedangkan sila ketiga menegaskan pentingnya persatuan dalam keberagaman. Menurut penulis, pengamalan nilai keagamaan yang benar seharusnya memperkuat persaudaraan dan persatuan, bukan justru menimbulkan konflik dan kekerasan.
Namun, kenyataannya toleransi beragama di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satu peristiwa yang mencerminkan lemahnya toleransi adalah kasus perusakan rumah doa GKSI (Gereja Kristen Setia Indonesia) yang terjadi pada Juli 2025 di Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Rumah doa tersebut digunakan sebagai tempat ibadah sementara dan pendidikan agama bagi umat Kristen yang merupakan kelompok minoritas di wilayah tersebut. Peristiwa ini bermula dari kesalahpahaman warga yang mengira bangunan tersebut merupakan gereja resmi tanpa izin.
Kesalahpahaman tersebut memicu perdebatan antara warga dan jemaat yang kemudian berujung pada kericuhan. Massa merusak fasilitas rumah doa seperti kursi, jendela, dan peralatan ibadah lainnya, serta membubarkan kegiatan ibadah yang sedang berlangsung. Dalam insiden ini, dua anak yang mengikuti pendidikan agama Kristen dilaporkan mengalami luka akibat tindakan kekerasan. Menurut penulis, peristiwa ini sangat memprihatinkan karena tidak hanya merusak tempat ibadah, tetapi juga melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan agama dan rasa aman.

Selain menjual produk, Naysa juga memanfaatkan lingkaran pertemanan kampus untuk membangun kepercayaan. Banyak pelanggan yang kemudian membagikan testimoni di Instagram setelah mencicipi produknya. Cerita-cerita dari konsumen ini diunggah kembali sebagai bukti bahwa produknya memang disukai. Promosi semacam ini terbukti lebih efektif karena mahasiswa cenderung percaya pada rekomendasi dari orang terdekat.
Read More:
- 1 Banjir di Aceh Menguji Nilai Kemanusiaan dan Persatuan Bangsa
- 2 Kerupuk Kamang: Warisan Kuliner Tradisional dari Nagari Kamang Magek
- 3 Pencegahan Kekerasan terhadap Kelompok Minoritas Sosial di Indonesia: Studi Penggrebekan Oknum Guru SMA Diduga Mesum di Toilet Masjid Padang, 18 Desember 2025.

Menurut penulis, kasus ini menunjukkan bahwa intoleransi sering kali muncul bukan semata-mata karena perbedaan agama, tetapi juga akibat kurangnya komunikasi dan pemahaman antarwarga. Jika permasalahan izin bangunan atau penggunaan tempat ibadah diselesaikan melalui dialog dan prosedur hukum yang benar, maka konflik dan kekerasan dapat dihindari. Oleh karena itu, pendekatan dialogis harus menjadi prioritas dalam menyelesaikan persoalan keagamaan di tengah masyarakat.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai toleransi beragama sejak dini. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan harus mampu membentuk karakter generasi muda yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Selain itu, pendidikan agama juga seharusnya menanamkan nilai cinta kasih, perdamaian, dan saling menghormati, bukan sikap eksklusif yang berlebihan..
Kesimpulan
Peran tokoh agama dan tokoh masyarakat juga sangat strategis dalam menjaga kerukunan umat beragama. Tokoh agama diharapkan dapat menjadi teladan dalam bersikap toleran dan menenangkan umat ketika terjadi perbedaan pandangan. Menurut penulis, komunikasi yang baik antar tokoh agama dapat mencegah berkembangnya prasangka dan kebencian di tengah masyarakat.
Selain itu, pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menegakkan hukum secara adil dan tegas terhadap setiap tindakan intoleransi. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan efek jera dan menegaskan bahwa negara hadir untuk melindungi seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Kasus perusakan rumah doa GKSI di Padang harus menjadi pelajaran penting agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Dalam kehidupan sehari-hari, toleransi beragama dapat diwujudkan melalui tindakan sederhana, seperti menghormati kegiatan ibadah agama lain, tidak menyebarkan ujaran kebencian, serta menjaga sikap dan ucapan di ruang publik maupun media sosial. Menurut penulis, di era digital saat ini, sikap bijak dalam bermedia sosial juga menjadi bagian penting dari upaya menjaga toleransi dan kerukunan.
Sebagai penutup, penulis berpendapat bahwa toleransi beragama merupakan kunci utama dalam menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia. Kasus perusakan rumah doa GKSI di Padang menunjukkan bahwa intoleransi masih menjadi ancaman nyata bagi persatuan bangsa. Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat harus berperan aktif dalam menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan. Dengan menjunjung tinggi nilai Pancasila dan toleransi beragama, Indonesia dapat tetap menjadi bangsa yang damai, bersatu, dan kuat dalam keberagaman.







