KABAMINANG.com – Fenomena aktivitas lava di dalam kawah bukan sekadar gejala alam yang bersifat teknis atau ilmiah. Ia adalah gambaran nyata tentang bagaimana bumi terus hidup, bernafas, dan memperingatkan manusia. Ketika kita berbicara tentang lava yang bergolak, kubah lava yang tumbuh dan runtuh, atau letupan strombolian yang memecah kesunyian malam, kita sedang membicarakan sesuatu yang jauh lebih besar hubungan antara manusia dan alam yang tak pernah benar-benar seimbang.
Lava di dalam kawah bekerja seperti jantung yang berdetak. Setiap gerakan kecil naiknya permukaan lava, percikan pijar, muntahan gas merupakan denyut yang menunjukkan bahwa sang gunung belum tidur. Namun anehnya, justru karena kehadiran aktivitas ini, manusia sering terjebak dalam rasa aman palsu. Ketika lava sekadar naik turun dan tidak ada letusan besar, banyak orang menganggapnya kondisi “normal”. Padahal, normalitas inilah yang sering menipu.
Aktivitas lava dalam kawah adalah bentuk komunikasi alam yang harus dibaca dengan cermat. Ketika tekanan gas meningkat, terjadi letupan-letupan pendek. Ketika magma menjadi terlalu kental, ia membentuk kubah lava yang sewaktu-waktu bisa runtuh dan memicu awan panas. Ketika lava mengalir keluar dengan tenang, ia tetap membawa ancaman berupa kebakaran hutan, kerusakan lahan, bahkan memutus jalur evakuasi. Semuanya menunjukkan bahwa ketidakpastian adalah bagian dari hidup berdampingan dengan gunung berapi.
Namun persoalan terbesar bukanlah gunungnya melainkan manusianya. Banyak masyarakat yang tinggal di lereng gunung tidak punya pilihan lain selain tetap menetap di zona rawan. Ekonomi, budaya, keterikatan tanah leluhur, hingga keberanian berlebihan membuat mereka menolak untuk pindah. Di sinilah opini ini ingin menegaskan: bahwa mitigasi bencana bukan hanya soal teknologi atau peta risiko, tetapi juga soal pendidikan sosial, psikologi masyarakat, serta bagaimana negara mengelola ruang hidup warganya.
Sayangnya, seringkali aktivitas lava dianggap hal yang “biasa terjadi”. Bahkan ketika gunung mengeluarkan asap putih tebal atau mengeluarkan dentuman, masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa. Kita sering melihat warga mendekati kawah untuk memotret semburan lava, atau bahkan mengunggahnya ke media sosial demi konten. Fenomena ini, tanpa disadari, menunjukkan adanya perubahan cara manusia memahami bahaya. Bahaya sekarang bukan lagi sesuatu yang menakutkan bahaya justru dijadikan tontonan.
Read More:
- 1 Cloudflare: Pilar Tak Terlihat yang Menjaga Stabilitas Dunia Digital
- 2 MBG dalam Perspektif Pendidikan Islam
Di sisi lain, pemerintah dan lembaga vulkanologi sebenarnya bekerja keras membaca setiap tanda. Grafik seismik, deformasi gunung, konsentrasi gas sulfur semua dianalisis untuk memberi peringatan dini. Namun peringatan dini tidak ada artinya jika masyarakat tidak percaya atau enggan mengikuti. Ketika sirine berbunyi, sebagian memilih bertahan. Ketika zona merah diumumkan, sebagian merasa itu berlebihan. Ketika evakuasi diwajibkan, banyak yang kembali diam-diam untuk memeriksa ternak atau ladang. Hubungan manusia dengan gunung memang erat, tetapi kedekatan emosional ini kadang justru menjadi titik buta.
Di sinilah pentingnya membangun budaya sadar bencana. Aktivitas lava bukan sekadar fenomena geologi ia adalah sinyal bahwa manusia harus siap. Pendidikan sejak usia dini, latihan evakuasi berkala, dan komunikasi risiko yang jelas akan membuat masyarakat lebih memahami bahwa setiap aktivitas kawah, sekecil apa pun, tidak boleh diremehkan.
Lebih jauh lagi, pemerintah perlu memberikan solusi konkret: relokasi yang manusiawi, pembangunan perumahan alternatif, serta kompensasi bagi mereka yang kehilangan penghasilan. Tanpa itu semua, larangan tinggal di zona merah hanyalah teori tanpa ruang implementasi.
Sebagai penutup, aktivitas lava dalam kawah seharusnya membuat kita lebih rendah hati di hadapan alam. Gunung tidak pernah marah ia hanya bekerja seperti seharusnya. Kita lah yang perlu belajar membaca tanda-tandanya dengan lebih bijak. Karena pada akhirnya, hidup berdampingan dengan gunung berapi adalah tentang menghormati kekuatan yang jauh melampaui diri kita, dan tentang keberanian untuk mengambil keputusan tepat sebelum terlambat.
(TKB)








