KABAMINANG.com, New York – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu kontroversi dengan mengancam akan menangkap Zohran Mamdani, kandidat wali kota New York dari Partai Demokrat yang baru saja memenangkan pemilihan pendahuluan untuk pilkada Kota New York.
Ancaman ini disampaikan Trump dalam pernyataan resminya, yang menyebutkan bahwa Mamdani harus bekerja sama dengan Badan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) dalam menangkap imigran ilegal di kota tersebut. Trump juga membuat klaim kontroversial bahwa Mamdani adalah “imigran gelap” dan “komunis,” meskipun faktanya Mamdani lahir di Uganda, telah tinggal di New York sejak usia 7 tahun, dan resmi menjadi warga negara Amerika Serikat melalui naturalisasi pada tahun 2018.
Dalam pernyataan yang disiarkan melalui platform media sosial X, Trump memperingatkan bahwa jika Mamdani tidak mematuhi kebijakan imigrasi federal, pemerintahannya akan mempertimbangkan untuk menahan dana federal yang dialokasikan untuk Kota New York.
“Kami tidak akan membiarkan kota-kota besar seperti New York menjadi surga bagi imigran ilegal di bawah kepemimpinan komunis seperti Mamdani,” tulis Trump dalam unggahannya.
Ancaman ini merupakan bagian dari pendekatan keras Trump terhadap kebijakan imigrasi, yang menjadi salah satu isu utama dalam masa kepemimpinannya.
Zohran Mamdani, yang dikenal sebagai politikus Muslim progresif dan pendukung kuat isu pro-Palestina, menanggapi ancaman tersebut dengan tegas. Dalam pernyataannya di X, Mamdani menyebut ancaman Trump sebagai “serangan terhadap demokrasi” dan “upaya intimidasi terhadap warga New York yang berani menyuarakan kebenaran.”
Ia menegaskan komitmennya untuk melindungi hak-hak semua warga New York, termasuk komunitas imigran, dan menolak apa yang ia sebut sebagai “politik ketakutan” yang digunakan oleh Trump.
Kemenangan Mamdani dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat melawan mantan Gubernur New York, Andrew Cuomo, menjadi sorotan nasional karena menandakan pergeseran ke arah kepemimpinan yang lebih progresif di kota terbesar di Amerika Serikat.
Namun, kemenangan ini juga memicu reaksi keras dari Trump dan pendukungnya, yang melihat pandangan progresif Mamdani sebagai ancaman terhadap agenda konservatif mereka.
Read More:
- 1 Presiden Pimpin Upacara Hari Bhayangkara ke-79 di Monumen Nasional
- 2 Kemendikdasmen dan Flinders University Gelar Simposium “Indonesia’s Future: A Multi-Disciplinary Approach” untuk Tingkatkan Kualitas Pendidikan
- 3 Kementerian ATR/BPN Bantah Hoaks: Tanah Girik, Verponding, dan Letter C Tidak Diambil Negara pada 2026
Latar Belakang Ancaman Trump
Ancaman Trump terhadap Mamdani bukanlah yang pertama kali. Selama masa kepemimpinannya, Trump kerap menggunakan ancaman penahanan dana federal atau tindakan hukum untuk menekan pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan kebijakannya.
Pada 2020, misalnya, ia mengancam akan mencabut dana federal dari kota-kota yang dianggap “anarkis” karena mendukung gerakan Black Lives Matter atau menolak kebijakan imigrasi yang ketat.
Dalam kasus Mamdani, Trump tampaknya menargetkan profil politik Mamdani yang vokal dalam isu-isu seperti keadilan sosial, reformasi kepolisian, dan dukungan terhadap hak-hak imigran.
Klaim Trump bahwa Mamdani adalah “imigran gelap” telah dibantah oleh dokumen resmi yang menunjukkan status kewarganegaraan Mamdani. Namun, pernyataan tersebut tetap memicu perdebatan sengit di media sosial dan kalangan politik.
Respons Publik dan Implikasi Politik
Reaksi terhadap ancaman Trump beragam. Pendukung Trump menyambut baik sikap kerasnya terhadap imigrasi, dengan beberapa di antaranya menyebut Mamdani sebagai “ancaman bagi keamanan nasional.” Di sisi lain, banyak warga New York dan kelompok hak asasi manusia mengutuk ancaman tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Organisasi seperti American Civil Liberties Union (ACLU) menyatakan bahwa ancaman Trump dapat dianggap sebagai pelanggaran kebebasan berpendapat dan hak politik Mamdani.
Analis politik menilai bahwa langkah Trump ini bertujuan untuk menggalang dukungan dari basis konservatifnya menjelang pemilu lokal dan tengah periode. Namun, ancaman tersebut juga berisiko memperdalam polarisasi politik di New York, yang secara historis cenderung mendukung kandidat progresif.
(KBM)