Oleh: Syaiful Rajo Bungsu
KABAMINANG.com – “Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sumatera Barat semakin mengkhawatirkan. Beberapa di antaranya bahkan melibatkan pelaku dari lingkungan terdekat korban: guru, pelatih, hingga kerabat. Fenomena ini tidak hanya mengusik nurani, tetapi juga menampar wajah sistem perlindungan anak kita yang masih lemah. Apakah Sumbar siap melindungi anak-anaknya?”
Kotobaru – Komnas Perlindungan Anak mencatat, sepanjang 2023, terdapat 2.355 kasus kekerasan terhadap anak, dan lebih dari separuhnya adalah kekerasan seksual (Kompas, 23/12/2023). Kementerian PPPA melalui Simfoni PPA menyebutkan, ada 11.016 kasus kekerasan seksual terhadap anak secara nasional di tahun yang sama.
Di Sumatera Barat, LPAI Sumbar melaporkan lebih dari 130 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Namun ini hanya puncak gunung es, banyak kasus tak terlapor karena tekanan sosial dan stigma. Sebuah alarm yang menandakan perlunya tindakan sistemik.
Pemerintah daerah bersama DPRD perlu mendorong lahirnya Perda Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual diperkuat dengan roadmap perlindungan yang konkret dan terukur dengan konsep mencakup:
• Tahun pertama: Pembentukan pusat aduan di setiap kabupaten/kota dan pelatihan aparat, guru, serta penyuluh agama.
• Tahun kedua: Sosialisasi dan edukasi publik melalui sekolah, rumah ibadah, dan nagari.
• Tahun ketiga: Digitalisasi sistem pelaporan, serta evaluasi dampak regulasi.
Read More:
- 1 Detik-Detik Proklamasi HUT RI ke-80 di Hiliran Gumanti Meriah, Talang Babungo Dapat Kado Istimewa
- 2 Kapolres Solok AKBP Agung Pranajaya S.I.K. Baru 4 Bulan, Boyong 3 Penghargaan Bergengsi
- 3 PD Pontren Kemenag Kota Solok Gelar Pembinaan Emis & ICT MDT 2025
Di sisi lain, Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama harus merevisi kurikulum agar mencakup edukasi perlindungan diri bagi anak. Guru dan penyuluh agama harus menjadi aktor preventif yang peka terhadap gejala kekerasan.
Peran Strategis Tokoh Lokal dan Nasional,
Nilai-nilai Minangkabau seperti adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Ninik mamak, alim ulama, dan bundo kanduang harus turun tangan. Demikian pula tokoh masyarakat dan perantau, termasuk mereka yang kini berada di pentas politik nasional. Peran strategis mereka dalam advokasi anggaran dan dukungan kebijakan pusat sangat krusial.
Gubernur Sumbar dan wakilnya bersama DPRD harus memimpin langsung gerakan ini, melibatkan semua elemen, instansi pemerintah, lembaga adat, dan masyarakat sipil. Tak cukup hanya seruan moral, dibutuhkan langkah administratif dan politis yang tegas.
Pendapat Pakar,
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia (UIN Jakarta) menyatakan, “Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan. Tidak bisa hanya ditangani dengan pendekatan hukum, perlu kerja lintas sektor.”
Sementara itu, Dr. Seto Mulyadi menegaskan bahwa pemulihan korban sangat membutuhkan dukungan komunitas dan keluarga. “Anak tidak hanya butuh aman, tetapi juga dipulihkan kepercayaan dirinya.”
Kesimpulan:
Predator seksual tak mengenal tempat dan waktu. Mereka bisa menyamar sebagai orang dekat, bahkan panutan. Negara dan masyarakat tak boleh lalai, Sumatera Barat harus memulai babak baru perlindungan anak yang sistemik, lintas sektor, dan berbasis komunitas.
“Jika hari ini kita gagal melindungi anak-anak, maka kita sedang menanam luka panjang bagi masa depan. Kita akan dikenang bukan karena niat, tetapi karena keberanian untuk bertindak. Inilah saatnya, Sumbar bersatu untuk menjaga generasi penerusnya.”