Scroll untuk baca artikel

POJOK OPINI

Program 100 Hari Kepala Daerah: Antara Janji Cepat dan Ujian Kepemimpinan

×

Program 100 Hari Kepala Daerah: Antara Janji Cepat dan Ujian Kepemimpinan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Syaiful Rajo Bungsu

KABAMINANG.com – Setiap kepala daerah yang baru dilantik kerap membawa semangat baru melalui program 100 hari kerja. Program ini menjadi simbol keseriusan dan kecepatan dalam menjawab ekspektasi masyarakat. Namun, di banyak daerah program ini tidak selalu berjalan sesuai harapan. Di satu sisi, ia menjanjikan perubahan cepat. Di sisi lain, ia bisa menjadi jebakan pencitraan dan alat konsolidasi politik semata.

Kajian LIPI (kini BRIN) tahun 2020 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen kepala daerah menggunakan program 100 hari sebagai strategi membentuk citra publik bukan sebagai bagian integral dari perencanaan pembangunan. Hal ini diperkuat temuan ICW pada 2022 yang menyebut bahwa sebagian besar program 100 hari tidak berlanjut dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), sehingga kehilangan daya dorong kebijakan jangka panjang.

Padahal, seratus hari pertama semestinya menjadi masa penentuan arah, menata ulang struktur birokrasi, mengidentifikasi persoalan mendesak, dan menyiapkan lompatan strategis jangka panjang. Bukan sekadar melakukan sidak pasar atau meluncurkan aplikasi layanan yang belum siap digunakan. Publik hari ini lebih cerdas dan mereka tidak cukup diyakinkan oleh gebrakan, tetapi ingin melihat dampak.

Tak dapat disangkal program 100 hari juga berfungsi sebagai alat politik. Studi Kemendagri tahun 2023 mencatat bahwa kepala daerah kerap menggunakan momentum awal untuk merombak struktur birokrasi, memperkuat loyalitas politik, dan mengamankan posisi di internal pemerintahan. Bila tidak dilakukan secara hati-hati dan akuntabel, langkah ini justru bisa mengganggu stabilitas kerja pemerintahan daerah.

Kini, ketika masa 100 hari hampir habis, pertanyaan yang relevan adalah,  bagaimana jika sebagian program tidak tercapai? Kepala daerah tidak boleh membungkam kegagalan dengan dalih teknis atau birokratis. Keterbukaan kepada publik menjadi kunci dan dengan mengevaluasi menyeluruh perlu dilakukan, terutama terhadap tim kerja dan kinerja perangkat daerah. Transparansi dalam menyampaikan hambatan serta rencana koreksi dan penyesuaian program, akan meningkatkan legitimasi dan kepercayaan publik.

Survei Litbang Kompas pada 2022 menunjukkan bahwa hanya 18 persen warga yang menilai program 100 hari membawa perubahan nyata. Sisanya merasa tidak ada perbedaan signifikan sebelum dan sesudah pelantikan kepala daerah. Ini menunjukkan bahwa efektivitas kepemimpinan tidak diukur dari cepat atau lambat, tetapi dari arah dan keberlanjutan kebijakan yang dirasakan masyarakat.

Jika masih tersisa beberapa hari menuju hari ke 100, inilah saat krusial bagi kepala daerah. Gunakan waktu ini untuk merampungkan capaian yang paling mungkin, menyusun laporan akuntabel, serta menyampaikan kepada publik arah strategis lima tahun ke depan. Komunikasi yang jujur dan terbuka akan jauh lebih berharga daripada menambal kegagalan dengan pencitraan semu.

Seratus hari memang bukan waktu yang cukup untuk mengubah kondisi daerah secara drastis tetapi waktu ini cukup untuk menunjukkan niat baik, arah visi, dan kapasitas seorang pemimpin. Bukan soal seberapa banyak yang diselesaikan, melainkan seberapa jelas jalan yang akan ditempuh.

Kita tidak membutuhkan kepala daerah yang sempurna di awal, tetapi yang mampu belajar, memperbaiki diri, dan memimpin dengan integritas. Kepercayaan publik dibangun bukan dari janji, tetapi dari kesungguhan menjalankan tugas sekecil apa pun langkah yang telah diambil.

Referensi:

LIPI/BRIN (2020). “Dinamika Politik Lokal dan Evaluasi Janji Kepala Daerah.”
Indonesia Corruption Watch (2022). “Evaluasi Program 100 Hari Kerja Kepala Daerah.”
Kemendagri (2023). “Tren Kepemimpinan Daerah Pasca Pilkada.”
Litbang Kompas (2022). “Survei Nasional: Efektivitas Program 100 Hari di Daerah.”