Oleh: Syaiful Rajo Bungsu
KABAMINANG.com – Tanggal 1 dan 2 Mei setiap tahun menjadi momen penting untuk refleksi nasional. Di satu sisi, kita memperingati Hari Buruh Internasional, simbol perjuangan kelas pekerja. Di sisi lain, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, yang mengingatkan kita akan cita-cita Ki Hadjar Dewantara, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memerdekakan manusia.
Meski tampak berada di jalur yang berbeda, pendidikan dan ketenagakerjaan sejatinya adalah dua sisi dari satu perjuangan besar, membentuk manusia Indonesia yang mandiri, produktif, dan bermartabat. Di tengah derasnya perubahan zaman yang dtandai oleh otomatisasi, digitalisasi, dan pola kerja baru dan korelasi antara keduanya perlu dikaji ulang secara serius.
Ketika Sekolah Tak Lagi Sejalan dengan Dunia Kerja
Pendidikan seharusnya menjadi jalan bagi setiap individu untuk keluar dari kemiskinan dan membangun kehidupan yang lebih baik. Namun, realitas hari ini menunjukkan paradoks, semakin tinggi pendidikan tidak selalu berarti semakin mudah mendapatkan pekerjaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Sakernas 2023 mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional mencapai 5,32%. Ironisnya, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang notabene didesain untuk siap kerja dan mencapai angka pengangguran tertinggi, yaitu 8,63%. Ini menandakan adanya mismatch atau ketidaksesuaian antara keterampilan yang diajarkan sekolah dengan kebutuhan dunia kerja.
Kurikulum kita selama ini terlalu fokus pada teori dan hafalan, sementara keterampilan praktis, kemampuan berpikir kritis, komunikasi, serta literasi digital sering kali terabaikan. Tak heran jika lulusan pendidikan tinggi pun banyak yang kesulitan masuk ke pasar kerja, atau terpaksa menerima pekerjaan yang tidak sesuai bidang keahliannya.
Buruh dalam Cengkeraman Zaman
Sementara dunia pendidikan sibuk berbenah, nasib kaum buruh tak kalah menantang. Disrupsi teknologi dan tekanan ekonomi global membuat struktur pekerjaan berubah drastis. Pekerjaan-pekerjaan konvensional mulai tergeser oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan. Dalam jangka panjang, jutaan pekerja berisiko tergantikan jika tak memiliki keterampilan baru.
Data Kementerian Ketenagakerjaan 2023 menunjukkan bahwa dari sekitar 139 juta angkatan kerja Indonesia, lebih dari 59% bekerja di sektor informal, dengan tingkat perlindungan sosial dan jaminan kerja yang sangat rendah. Di sisi lain, ketimpangan upah dan minimnya akses pelatihan memperburuk kerentanan sosial para buruh.
Bahkan laporan dari International Labour Organization (ILO) memperingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal upah yang layak, keselamatan kerja, dan jaminan sosial, terutama di sektor-sektor padat karya dan informal.
Pendidikan dan Buruh: Satu Masalah, Satu Solusi
Masalah pengangguran dan kerentanan buruh sejatinya berakar dari akar yang sama: sistem pendidikan dan pelatihan yang belum terintegrasi dengan dunia kerja secara holistik.
Kita perlu meninjau kembali orientasi pendidikan nasional.
Oleh karena itu, reformasi pendidikan vokasi menjadi sangat mendesak. Program seperti SMK Pusat Keunggulan, revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK), hingga skema magang industri harus diperluas, tidak hanya di kota-kota besar, tapi juga ke wilayah-wilayah tertinggal. Literasi digital, kemampuan bahasa asing, hingga soft skills harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan, bahkan sejak tingkat dasar.
Read More:
- 1 Meninggalkan Zona Nyaman: Langkah Awal Menuju Hidup yang Lebih Bermakna
- 2 Di Balik Sorotan: Kisah Cinta dan Tragedi Keluarga Diogo Jota yang Mengharukan
- 3 Bagaimana Satelit Memperbarui Data Transaksi Antar Bank: Proses, Teknologi, dan Keandalannya
Di sisi lain, pekerja yang sudah berada di dunia industri pun perlu mendapat akses terhadap pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) secara berkelanjutan. Pemerintah perlu menjadikan lifelong learning sebagai bagian dari kebijakan ketenagakerjaan nasional. Digitalisasi dan kerja fleksibel harus disambut, bukan ditakuti.
Mewujudkan Mimpi Bersama
Pendidikan dan pekerjaan bukan sekadar urusan kementerian yang berbeda. Ini soal arah bangsa. Ini soal masa depan anak-anak muda hari ini. Ini soal keberlanjutan ekonomi dan keadilan sosial.
Peringatan Hari Buruh dan Hari Pendidikan tahun ini harus menjadi momentum bersama untuk membangun ekosistem pembelajaran yang memerdekakan dan dunia kerja yang memanusiakan.
Langkah-langkah strategis yang bisa diambil meliputi:
Mengintegrasikan pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri daerah secara spesifik.
Mendorong sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan dalam merancang kurikulum.
Memberikan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi pada pelatihan dan peningkatan kapasitas buruh.
Memastikan kebijakan pengupahan yang adil dan perlindungan kerja yang kuat, terutama bagi sektor informal.
Memperluas akses pendidikan tinggi dan pelatihan kerja bagi kelompok marginal, termasuk penyandang disabilitas dan masyarakat desa atau sebutan nama lainya.
Menjemput Indonesia Emas 2045
Jika Indonesia ingin merebut bonus demografi dan menjadi negara maju di tahun 2045, maka pendidikan dan pekerjaan harus menjadi fondasi utamanya. Kita tidak boleh membiarkan generasi muda menjadi korban sistem yang tidak adaptif. Kita juga tidak boleh membiarkan para buruh menjadi mesin produksi tanpa masa depan.
Sudah waktunya kita menjemput mimpi besar itu bersama, “Mimpi tentang rakyat yang terdidik, bekerja dengan martabat, dan hidup dalam keadilan