Kabaminang.com – Dunia semakin maju, katanya. Teknologi semakin canggih, katanya. Tapi, kok semakin banyak manusia yang gampang tersinggung? Media sosial berubah menjadi arena gladiator, tempat orang-orang bertarung dengan jempol, melempar argumen serampangan, dan menobatkan diri sebagai dewa kebenaran. Selamat datang di era di mana semua orang merasa paling benar!
Kita hidup di zaman di mana seseorang bisa tersinggung hanya karena orang lain memiliki pendapat berbeda. Mau bicara politik? Hati-hati, salah sedikit bisa langsung dicap antek ini atau boneka itu. Mau bahas makanan? Bisa-bisa ada yang ngamuk karena kamu lebih suka kopi hitam daripada kopi susu. Mau sekadar bercanda? Jangan coba-coba, ada risiko diboikot dan dihujat habis-habisan.
Cancel Culture: Seni Menghancurkan Karier Orang dengan Sekejap
Dulu, kalau seseorang berbuat salah, ada yang namanya klarifikasi, minta maaf, dan memperbaiki diri. Sekarang? Satu kesalahan kecil di masa lalu bisa membuat seseorang dicabut eksistensinya dari dunia maya. Ada yang pernah nge-tweet bodoh sepuluh tahun lalu? Maaf, kariermu sudah tamat. Pernah bercanda yang sekarang dianggap tidak sesuai norma? Silakan angkat koper, kamu sudah dibatalkan oleh masyarakat internet.
Ironisnya, banyak yang sibuk membatalkan orang lain, padahal kalau diintip sedikit, riwayat digital mereka juga nggak bersih-bersih amat. Tapi, siapa peduli? Yang penting terlihat suci dan beradab di depan netizen.
Hidup dari Validasi Orang Lain
Dulu, orang hidup untuk diri sendiri dan orang-orang terdekatnya. Sekarang? Hidup harus dipertontonkan, harus dikomentari, harus di-like. Mau makan, harus difoto dulu. Mau jalan-jalan, harus update story. Mau pamer pacar, harus kasih caption panjang-panjang. Semua serba harus diakui orang lain.
Punya hubungan? Harus diposting biar dibilang couple goals. Nggak ada yang ngucapin ulang tahun? Langsung drama, bikin story menyindir “teman-teman palsu.” Seakan-akan, tanpa validasi orang lain, hidup ini nggak berharga.
Padahal, di balik layar, banyak yang pura-pura bahagia. Tertawa di media sosial, tapi nangis di kamar. Pamer hubungan mesra, padahal isinya toxic. Menjalani hidup yang kelihatan sempurna, padahal aslinya penuh utang dan pura-pura kuat. Tapi ya sudahlah, yang penting kelihatan keren dulu.
Read More:
- 1 FC Bayern München Rayakan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80 dengan Ilustrasi Keren
- 2 Bumi Markisah Berpesta! Pemkab Solok Robohkan Tuan Rumah & Angkat Piala
- 3 Detik-Detik Proklamasi HUT RI ke-80 di Hiliran Gumanti Meriah, Talang Babungo Dapat Kado Istimewa
Merasa Paling Open-Minded, Padahal Sebaliknya
Katanya, kita hidup di era keterbukaan. Katanya, sekarang orang lebih open-minded. Tapi, realitanya? Banyak yang cuma open-minded kalau itu sesuai dengan opini mereka sendiri. Begitu ada orang yang berpendapat beda, langsung dicap bodoh, ketinggalan zaman, atau nggak toleran.
Ada yang nggak setuju dengan pilihan hidup orang lain? Pasti langsung diserang. Ada yang mengkritik sesuatu dengan argumen kuat? Ah, pasti haters. Padahal, kalau benar-benar open-minded, bukankah seharusnya kita bisa mendengar pendapat berbeda tanpa harus merasa terancam?
Kesimpulan: Mau Jadi Penonton atau Pemain?
Dunia sekarang serba aneh. Yang jujur sering kali kalah dengan yang pintar pencitraan. Yang bekerja keras kalah dengan yang bermain drama. Tapi, bukan berarti kita harus ikut-ikutan jadi pemain drama juga.
Mau jadi penonton atau pemain, pilihan ada di tangan kita. Mau terus-terusan hidup untuk validasi orang lain, atau fokus pada kehidupan nyata yang lebih bermakna? Mau sibuk cari-cari kesalahan orang, atau sibuk memperbaiki diri sendiri?
Jaman memang edan, tapi bukan berarti kita harus ikut-ikutan edan. Berani berpikir sendiri, berani berbeda, dan yang paling penting, berani hidup tanpa harus selalu mencari pengakuan dari orang lain. Karena pada akhirnya, yang benar-benar berarti bukanlah berapa banyak likes yang kita dapat, tapi seberapa nyata dan tulus hidup yang kita jalani.
((JAVA))