POJOK OPINI

Pengaruh Budaya Korea Terhadap Nasionalisme Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas

×

Pengaruh Budaya Korea Terhadap Nasionalisme Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas

Sebarkan artikel ini

Oleh:
Fadillah1, Hafizhah Mazaya2, Fauzi Octania3, Cinta Forryza Rospa4, Jazilla Veroca5, Shafa Rahman6, M. Aldi Luqmanul Hakim7, Muhammad Hanafid Denof 8, Zaskia Angriani9


KABAMINANG.com – Padang. Budaya populer Korea atau Korean Wave (Hallyu) dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi salah satu fenomena global yang paling berpengaruh di kalangan generasi muda. Musik K-Pop, drama Korea, fashion, hingga kebiasaan hidup para idol telah menyebar dengan cepat melalui media sosial dan platform digital. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas (FEB Unand) adalah bagian dari kelompok yang hidup berdampingan dengan arus budaya tersebut. Bagi mereka, budaya Korea bukan hanya bentuk hiburan semata, tetapi juga konstruksi identitas baru yang memengaruhi cara mereka berbicara, berpakaian, dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagian mahasiswa menganggap ketertarikan terhadap budaya Korea adalah hal yang wajar. Rafiq, salah satu mahasiswa FEB Unand, menyatakan bahwa budaya Korea memberikan hiburan yang lebih “menarik dan modern” dibandingkan konten lokal. Menurutnya, penggunaan istilah-istilah sederhana seperti gomawo atau mianhe hanyalah bentuk ekspresi mengikuti tren, tanpa bermaksud meninggalkan bahasa Indonesia. “Kadang pakai juga, tapi cuma buat seru-seruan,” ujarnya. Bagi mahasiswa seperti Rafiq, budaya Korea hanyalah bagian dari gaya hidup global yang tidak secara langsung mengurangi rasa cinta tanah air.

Pandangan yang sama juga muncul dari Faizah, mahasiswa lain yang menggemari K-Pop. Ia menyebut bahwa kecintaannya pada grup idol tidak otomatis membuatnya meninggalkan budaya Indonesia.

Baginya, budaya Korea hanya memberikan warna baru dalam hidup, bukan menggantikan identitas nasional.

“K-Pop hiburan aja. Nilai-nilai nasionalisme tetap penting,” tuturnya.

Hal ini menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa mampu menempatkan budaya asing sebagai konsumsi hiburan tanpa menggeser nilai kebangsaan.
Namun, tidak semua mahasiswa merasakan pengaruh yang sama. Rismelti mengakui bahwa ketertarikan terhadap budaya Korea membuatnya lebih jarang mengonsumsi karya lokal.

Menurutnya, konten Korea tampil lebih estetis, modern, dan diproduksi dengan kualitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan budaya lokal terlihat kurang menarik dan kurang relevan dengan kehidupan anak muda.

“Kadang budaya lokal itu terasa ketinggalan zaman,” ungkapnya.

Pengalaman seperti ini memperlihatkan bahwa budaya asing dapat menggeser preferensi budaya lokal jika tidak diimbangi dengan pengembangan industri kreatif nasional yang adaptif.
Dari sudut pandang akademik, seorang dosen FEB Unand yang memahami perkembangan mahasiswa menilai bahwa fenomena Hallyu tidak sepenuhnya negatif.

Ia menjelaskan bahwa budaya Korea justru membawa nilai-nilai disiplin, kerja keras, dan produktivitas yang dapat memberikan inspirasi positif bagi mahasiswa. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa arus budaya asing dapat menjadi ancaman apabila generasi muda tidak memiliki fondasi nasionalisme yang kuat.

“Yang menjadi persoalan bukan budaya Koreanya, tetapi bagaimana budaya lokal kita kurang dipromosikan,” jelasnya.

Beberapa mahasiswa lain justru menunjukkan sikap lebih kritis. Nabilah, misalnya, tetap berpegang pada budaya lokal dan bahasa daerahnya. Ia menilai bahwa budaya Korea memang menarik, tetapi tidak seharusnya menggeser identitas sebagai orang Indonesia.

“Saya tetap suka budaya Minang. Bahasa daerah penting,” tegasnya.

Sikap seperti ini menggambarkan adanya kelompok mahasiswa yang tetap menjaga identitas nasional secara konsisten, meskipun terpapar budaya global.

Faktor yang membuat budaya Korea sangat diminati menjadi perhatian tersendiri. Berdasarkan wawancara dengan beberapa mahasiswa, terdapat beberapa alasan utama: kualitas produksi yang tinggi, penyajian visual yang memukau, kehadiran media sosial yang terus memviralkan konten Korea, serta fenomena FOMO ketakutan tertinggal tren.

Aspek-aspek ini menjadikan budaya Korea sangat kompetitif di tengah pasar digital global, hingga sering kali lebih menonjol dibanding budaya Indonesia sendiri.
Di balik antusiasme tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah budaya Korea melemahkan nasionalisme mahasiswa FEB Unand? Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa tetap memiliki rasa kebanggaan terhadap Indonesia.

Mereka tetap menghormati budaya lokal, memahami nilai-nilai Pancasila, dan tidak meninggalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Pengaruh budaya Korea lebih banyak terlihat pada preferensi hiburan, gaya bahasa informal, serta perubahan gaya hidup, bukan pada hilangnya identitas kebangsaan.

Meski demikian, penelitian ini menemukan adanya tantangan nyata: modernisasi budaya lokal masih tertinggal jauh dibanding budaya Korea. Konten Indonesia dianggap kurang menarik secara visual, kurang inovatif, dan tidak dikemas dengan strategi pemasaran digital yang kuat. Hal inilah yang membuat sebagian mahasiswa lebih memilih konten Korea, bukan semata karena nasionalisme mereka melemah.

Pada akhirnya, fenomena ini menunjukkan bahwa nasionalisme generasi muda tidak serta-merta hilang hanya karena menggemari budaya asing. Yang lebih penting adalah bagaimana budaya lokal mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Jika ekosistem budaya Indonesia dibangun dengan kreatif, modern, dan relevan, generasi muda akan memiliki lebih banyak alasan untuk tetap bangga pada budayanya sendiri.

Fenomena Hallyu di kalangan mahasiswa FEB Unand memberikan dua pelajaran penting: pertama, budaya asing dapat menjadi warna positif dalam kehidupan anak muda; kedua, budaya lokal membutuhkan strategi yang lebih segar agar kembali diminati. Dalam hal ini, nasionalisme bukanlah sesuatu yang mudah hilang ia justru dapat tumbuh semakin kuat apabila didukung oleh identitas budaya yang kokoh.

Kelompok 3 Kewarganegaraan FEB-06, Universitas Andalas, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia

(Padang, Kamis 4 Desember 2025 )
Redaksi : Kabaminang