Scroll untuk baca artikel
POJOK OPINI

Rahasia Dibalik Suksesnya Kedai Komo Cafe diBusiness Central Universitas Andalas

×

Rahasia Dibalik Suksesnya Kedai Komo Cafe diBusiness Central Universitas Andalas

Sebarkan artikel ini

Oleh :Muhammad Farhan Ammarsyah

KABAMINANG.com, Unand – Padang, Di sebuah sudut jalan kecil di kawasan dekat asrama Universitas Andalas, berdiri sebuah kedai sederhana bernama “Komo Cafe”. Kedai ini tidak memiliki papan nama besar, hanya spanduk seadanya, namun setiap pagi hingga malam selalu dipadati pelanggan, dari mahasiswa, pekerja, hingga sopir ojek online, semua tahu bahwa di sini adalah tempat mencari makan enak dengan harga yang bersahabat.

Kedai Sederhana yang Selalu Ramai
Saat berkunjung pada siang hari, suasana kedai tampak riuh, meja kayu berjajar, beberapa pelanggan memilih duduk, sementara banyak lainnya datang untuk membeli bungkus dan langsung pergi.

Aroma sambal goreng dan sayur lodeh yang mengepul dari dapur kecil langsung menyambut begitu masuk. Di balik meja saji, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat melayani pembeli satu per satu. Dialah Rahmadani, pemilik kedai ini.

“Silakan, mau lauk apa? Sambalnya baru matang, sambalnya pedas sekali hari ini,” katanya sambil cepat-cepat menyiapkan pesanan pelanggan.

Dengan cekatan, ia mengambil selembar kertas nasi, menaruh daun pisang tipis, lalu menyendokkan nasi hangat bersama lauk pilihan. Semua gerakan tampak sudah otomatis, hasil pengalaman bertahun-tahun.
Harga Bersahabat, Pelanggan Setia

Salah satu hal yang membuat kedai ini begitu dicintai adalah harganya yang sangat terjangkau. Seporsi nasi bungkus dengan lauk ayam goreng, sayur, dan sambal hanya Rp12.000. Bila ingin lebih sederhana, misalnya dengan telur balado dan sayur tumis, cukup Rp10.000 saja.

“Dari dulu saya memang niatnya jual murah. Biar mahasiswa dan pekerja tetap bisa makan enak tanpa mikir mahal. Kalau untung tipis ya tidak apa-apa, yang penting bisa jalan terus,” tutur Bu Rahmadani ketika ditanyai alasan mengapa menjual dengan harga murah.

Menurutnya, sejak membuka kedai pada tahun 2010, prinsip yang ia pegang adalah “makan murah, rasa rumah”. Bukan hanya sekadar mencari keuntungan, tetapi juga ingin menghadirkan suasana masakan rumahan bagi siapa pun yang datang.

Kisah di Balik Kedai
Bu Rahmadani bercerita, “usaha ini bermula dari ia berjualan di barak barak dekat asrama Universitas Andalas, beserta dengan kedai kedai kedai lain, karena bapak rektorat merasa kalau kami berjualan dekat asrama ini mengganggu, maka dari itu pak rektorat akhirnya memutuskan kalau antar asrama cewek sama cowok di bangunlah BC (Business Central), nah sejak di bangunnya bangunan ini semua pedagang berjualan di bangunan yang baru di bangun, tepatnya pada tahun 2010”.

Lalu saya bertanya, “bagaiamana perasaan ibuk ketika awal berjualan dengan bangunan baru ini yang mana akan memperketat persaingan”.

“Awalnya saya merasa takut, bisa nggak ya laku? Ternyata malah banyak yang cocok sama masakan saya. Dengan keadaan ini saya merasa senang, tetapi pertanyaan adek ada yang salah, sebenarnya kami di sini tidak ada merasa bersaing” ucapnya sambil tersenyum.

Kisah perjalanan ini membuat kedai Bu Rahmadani terasa lebih istimewa. Tidak sekadar warung makan, tetapi juga cerita perjuangan hidup yang menginspirasi.
Ragam Menu Favorit

Menu di kedai Bu Rahmadani sebenarnya sederhana, tapi selalu menggugah selera. Ada ayam goreng, ayam bumbu, ikan balado, gulai ampela, ampela goreng, rendang, telur dadar, tumis sayur, dll. Semua masakan dimasak langsung olehnya setiap pagi, dibantu sama anaknya sebelum mulai merekrut karyawan untuk bekerja.

“Kalau dagangan udah selesai masak, pembeli pasti langsung rame. Pembeli banyak yang suka karena rasanya enak dan pas, tapi harganya tetap murah,” kata seorang mahasiswa.

Selain itu, sambal khas buatannya juga menjadi daya tarik utama. Pedasnya pas, tidak terlalu menyengat, namun tetap bikin ketagihan. Beberapa pelanggan bahkan sering meminta tambahan sambal dalam bungkusannya.

Suara Pelanggan


Tidak lengkap rasanya membicarakan kedai ini tanpa mendengar suara pelanggan. Dika, mahasiswa yang baru wisuda dari jurusan teknik elektro, mengaku hampir setiap hari makan di sini.

“Kalau dihitung, mungkin sudah lebih dari seribu kali saya makan di warung  bu Rahmadani” ujarnya sambil tertawa. “Harganya cocok banget buat mahasiswa. Rasanya juga konsisten dari dulu. Kadang kalau lagi kangen rumah, makan di sini bisa mengobati.”

Sementara itu, seorang tukang galon sekaligus customer service yang bekerja dekat dengan kedai ini, mengatakan bahwa kedai ini jadi tempat makan favoritnya. “Praktis, cepat, murah. Kalau lagi istirahat, saya pasti kesini untuk makan” tuturnya.

Dari mahasiswa hingga pekerja lapangan, semua merasa kedai ini bukan hanya soal harga, tetapi juga soal kenyamanan dan rasa yang mengingatkan pada masakan rumah.

Tantangan dan Harapan
Meski terlihat selalu ramai, Bu Rahmadani juga menghadapi tantangan, terutama soal harga bahan pokok yang sering naik. Namun, ia tetap berusaha menjaga harga agar pelanggan tidak terbebani.

“Kadang harga cabai naik tinggi sekali. Kalau ikut naikin harga, kasihan pelanggan. Jadi saya lebih memilih untung kecil daripada mereka kabur. Untungnya, pembeli banyak yang loyal, jadi alhamdulillah masih cukup,” jelasnya.

Ke depannya, Bu Rahmadani berharap bisa memperluas kedai agar lebih nyaman. “Kalau ada rezeki, saya ingin bikin tempat lebih luas, dan meningkatkan kenyamanan tapi tetap sederhana. Biar mahasiswa bisa nongkrong lebih lama sambil makan.”

Nasi Bungkus: Lebih dari Sekadar Makanan


Kedai nasi bungkus seperti milik Bu Sari menunjukkan bahwa makanan sederhana bisa memiliki makna besar. Ia bukan hanya pengisi perut, melainkan juga penghubung antar manusia, Di meja kayu kecil kedai ini, mahasiswa bisa berbincang ringan dengan pekerja kantoran, atau sopir ojek bisa duduk berdampingan dengan dosen. Semua setara, semua disatukan oleh nasi bungkus.

Lebih jauh, usaha kecil seperti ini berperan penting dalam perekonomian lokal. Dari bahan-bahan yang dibeli di pasar tradisional, hingga tenaga yang ikut membantu, semua saling terhubung. Harga murah yang ditawarkan tidak hanya menolong pelanggan, tetapi juga memperlihatkan filosofi berbagi rezeki dengan sesama.
Penutup

Mengunjungi kedai “Nasi Bungkus Bu Rahmadani” adalah pengalaman yang sederhana namun penuh makna. Dari aroma masakan yang menggoda, harga yang ramah di kantong, hingga senyum tulus sang pemilik, semuanya menghadirkan kehangatan tersendiri.

Kedai ini membuktikan bahwa makanan murah bukan berarti murahan. Justru, dari kesederhanaan itulah muncul rasa yang autentik, kenyamanan seperti di rumah, dan cerita hidup yang menginspirasi.

Bagi Bu Rahmadani, nasi bungkus bukan hanya dagangan, tetapi juga cara untuk melayani dan berbagi dengan banyak orang. Dan bagi para pelanggannya, seporsi nasi bungkus murah meriah bisa jadi sumber energi, kebahagiaan kecil, bahkan nostalgia akan rumah.
Maka, tidak berlebihan jika dikatakan: nasi bungkus memang makanan rakyat, dan kedai seperti milik Bu Rahmadani adalah jantung kehidupan kuliner sehari-hari.

(MFA/KBM)