KABAMINANG.com, Dharmasraya – Kehadiran Danrem 032/WBR Brigjen TNI Mahfud di lapangan Muaro Momong, Nagari Sungai Kambuik, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, menandai berakhirnya TMMD ke-125. Ratusan prajurit berseragam loreng dikerahkan hanya untuk memastikan upacara penutupan berjalan mulus, kamis 21/08/25
Segala perangkat disiapkan dengan detail, mulai dari pengamanan hingga sarana upacara. Namun, pertanyaan mendasar muncul seberapa besar dampak nyata TMMD bagi masyarakat setelah satu bulan program berjalan, dibanding kemeriahan seremoni penutupan yang penuh simbol?
Barisan pelajar yang dilibatkan, penampilan tari sekapur sirih, hingga stand UMKM memang menambah semarak acara. Tapi publik justru menanti laporan konkret berapa infrastruktur desa yang berhasil dibangun, masalah sosial apa yang terselesaikan, dan manfaat apa yang benar-benar dirasakan warga.
Kehadiran tokoh masyarakat dan ratusan warga di bawah tenda menunjukkan antusiasme. Meski demikian, keramaian ini tidak boleh hanya menjadi panggung pencitraan, melainkan momentum evaluasi terhadap efektivitas program TMMD.
Kunjungan Brigjen TNI Mahfud seharusnya tidak berhenti pada penutupan seremoni. Lebih penting dari itu, bagaimana memastikan bahwa setiap rupiah anggaran, setiap keringat prajurit, dan setiap dukungan warga desa benar-benar berbuah manfaat jangka panjang bagi pembangunan Dharmasraya.
Kedatangan seorang jenderal bintang satu di Dharmasraya pada pukul 09.00 WIB seharusnya menjadi momentum penting bagi pemerintah daerah. Namun, kehadiran tokoh strategis ini justru tidak disambut oleh Bupati Annisa Suci Ramadhani. Absennya kepala daerah dalam momen bersejarah itu menimbulkan tanda tanya besar sekaligus meninggalkan kesan buruk di mata publik.
Ketidakhadiran bupati dalam agenda resmi yang bernilai strategis jelas melukai perasaan masyarakat. Lebih dari itu, tindakan tersebut memperlihatkan lemahnya sensitivitas kepemimpinan di Dharmasraya. Bagaimana mungkin seorang kepala daerah mengabaikan momentum yang menyangkut kepentingan simbolik dan kelembagaan daerah, hanya dengan alasan kegiatan luar daerah
Read More:
- 1 PD Pontren Kemenag Kota Solok Gelar Pembinaan Emis & ICT MDT 2025
- 2 Wabup Solok H. Candra Berikan Motivasi kepada Peserta Sosialisasi Pajak Kendaraan Bermotor di X Koto Di Atas
- 3 Pascasarjana UMMY Solok Dukung Astacita Presiden RI Prabowo Subianto: Komitmen Bangun SDM Lewat Kampus
Ironinya, jenderal yang hadir bukan sekadar tamu biasa. Ia adalah figur yang setara dengan gubernur, dengan kiprah nyata dalam program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD). Program ini jelas memberi kontribusi langsung pada pembangunan daerah. Namun, alih-alih mendapatkan penghormatan dari bupati, sang jenderal hanya disambut wakil bupati. Simbol kehormatan pun runtuh seketika.
Preseden semacam ini berbahaya bagi citra pemerintahan daerah. Kepala daerah adalah representasi resmi sekaligus wajah Dharmasraya di hadapan tamu strategis. Kehadirannya bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk penghargaan dan pengakuan atas kontribusi pihak lain terhadap pembangunan daerah. Jika fungsi ini diabaikan, maka marwah daerah ikut dipertaruhkan.
Apalagi, yang datang adalah seorang perwira tinggi militer yang bukan hanya menjaga kedaulatan negara, tetapi juga turun langsung membuka akses pembangunan di wilayah-wilayah terpencil Dharmasraya. Ketidakhadiran bupati dalam momen seperti ini hanya menegaskan adanya kesenjangan dalam prioritas kepemimpinan: lebih mementingkan agenda pribadi ketimbang kepentingan simbolik masyarakat.
Ketidakhadiran Bupati Annisa akhirnya memunculkan spekulasi publik. Apakah jenderal dianggap kurang penting dibanding figur lain seperti influencer atau artis Ataukah ini cerminan sikap politik yang enggan memberi ruang pada pihak eksternal Apa pun alasannya, absennya bupati dalam peristiwa strategis ini adalah preseden buruk yang mencederai tata kelola pemerintahan dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada kepemimpinannya.
Informasi dari sejumlah sumber pemerintahan menyebutkan bahwa Bupati Annisa saat itu berada di Jakarta. Pertanyaannya, sepenting itukah urusan di ibu kota hingga harus meninggalkan acara penting yang berkaitan langsung dengan kepentingan Dharmasraya?
Kegiatan itu bukan agenda mendadak, melainkan sudah lama terjadwal. Seharusnya kepala daerah hadir sebagai simbol representasi, terutama dalam kunjungan resmi yang melibatkan TNI, pemerintah, dan masyarakat. Dengan absennya sang bupati, makna kebersamaan yang hendak ditunjukkan justru kehilangan bobot.
Ketidakhadiran tanpa alasan kuat jelas melanggar etika protokoler. Lebih dari itu, ia menunjukkan lemahnya komitmen terhadap tanggung jawab simbolik seorang pemimpin. Publik menilai, seorang kepala daerah semestinya memahami arti penting kehadiran, bukan mengabaikannya.
Sebagian kalangan kecewa dengan sikap Bupati Annisa. Mereka menegaskan bahwa acara tersebut bukan sekadar seremoni, tetapi wujud menjaga hubungan baik antara TNI dan pemerintah daerah. Kehadiran pemimpin seharusnya memperkuat solidaritas, bukan justru melemahkannya.
Kritik warga pun muncul dengan nada sinis. “Jenderal bukan artis, jadi tidak disambut. Kalau artis, mungkin karpet merah sudah digelar seperti saat kedatangan Fauzana di malam resepsi HUT ke-80 RI,” ungkap Dariyanto, 50 tahun. Kritik ini menyiratkan adanya standar ganda dalam prioritas kehadiran seorang pemimpin.
Menjadi bupati bukan sekadar pekerjaan administratif. Jabatan itu adalah amanah politik, jabatan publik yang menuntut kepekaan terhadap momen bernilai simbol tinggi. Kehadiran dalam kunjungan seorang jenderal bukan soal formalitas, melainkan penghormatan institusional dan komunikasi politik yang seharusnya dijaga.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, kepala daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Namun tanggung jawab itu tidak berhenti pada administrasi. Ia juga mencakup tanggung jawab moral. Ketidakhadiran Bupati Annisa justru menunjukkan kegagalan membaca makna simbolik kehadiran seorang pemimpin.
Mungkin Jenderal Mahfud tidak tersinggung. Namun masyarakat melihat, mencatat, dan menilai. Mereka menunggu representasi kehormatan, bukan sekadar pidato kosong. Ketika pemimpin absen pada momen bernilai, publik merasa kehilangan arah moral kepemimpinan.
Lebih jauh, absensi ini menggambarkan gejala banalitas jabatan publik. Ketika posisi kepala daerah dijalani sebatas rutinitas teknis, bukan pengabdian. Kehadiran hanya diberikan pada acara yang menguntungkan secara politik atau mengangkat citra di media sosial. Kepentingan rakyat pun terlempar ke urutan belakang.
Data yang beredar memperkuat dugaan publik. Di saat masyarakat berharap bupatinya hadir menyambut jenderal, orang nomor satu di Dharmasraya justru berada di Jakarta menghadiri agenda partai. Kontras inilah yang membuat publik semakin meragukan kepekaan dan prioritas seorang pemimpin daerah.
(NT)