KABAMINANG.com, Dharmasraya- Dinas Kominfo sejatinya memiliki tugas mulia untuk menjaga marwah Pemerintahan, memperkuat kemitraan dengan media massa, serta memastikan program kepala daerah agar tersampaikan dengan baik ke masyarakat. Artinya DisKominfo merupakan penghubung dan corong bagi Pemerintah Daerah untuk menyampaikan program-program yang telah dilakukan maupun program yang masih berjalan. Jelas informasi ini tidak terlepas dari peran media untuk mempublikasikannya. Namun sayang seribu sayang, baru baru ini, terlihat adanya semacam dinding pemisah yang terjadi antara awak media dengan Dinas tersebut.
Salah satunya yang terjadi di DisKominfo Kabupaten Dharmasraya. Dimana salah seorang Kepala Bidang di Dinas tersebut, diduga mencoba membangun tembok pemisah daripada jembatan komunikasi. Alias mengotak-ngotakan, terutama dalam urusan kerjasama, antara Pemerintah daerah dengan Media.
Bahkan sebagai corong, ia pun seharusnya memperkuat koordinasi antara awak media dengan kepala daerah (bupati). Bukan membuat suatu ketegangan dan mem blokade ruang gerak jurnalis dan menjadi pengatur panggung yang penuh intrik.
Sebelumnya DisKominfo Kabupaten Dharmasraya ini, kususnya di Bidang Publikas sangatlah dekat dengan para wartawan bahkan loyal pada pimpinan. Bahkan pejabat tersebut dinilai para awak media sangat terbuka. Tidak ada sekat antara Kominfo dan jurnalis.
Namun dengan munculnya wajah baru stock lama, yang dulunya Humas, atmosfer berubah drastis. Ruang komunikasi dipersempit, akses wartawan terhadap bupati dipangkas. Dari sinilah muncul jurang pemisah antara pemerintah daerah dengan media.
Peran strategis Kominfo seharusnya adalah memastikan setiap kebijakan bupati tersampaikan secara utuh, jelas, dan transparan. Namun dengan adanya jurang pemisah, tentu akan menjadi “bom waktu” bagi orang nomor Wahid, di Ranah cati nan tigo tersebut dengan para awak media.
Kebijakan blok-blok terhadap media, pembatasan akses dalam jumpa pers, hingga pengendalian informasi di lingkup OPD menjadi praktik sehari hari. Langkah ini bukannya melindungi bupati, tetapi justru menyeretnya ke pusaran sorotan negatif. Media yang merasa terpinggirkan kini balik menyerang, melancarkan kritik tajam terhadap kebijakan kepala daerah.
Pemberitaan tentang “topi mengalahkan hijab”, isu bupati tak berhijab, hingga laporan bupati terhadap anak buahnya ke polisi hanyalah puncak dari gunung es. Semua bermula dari rusaknya relasi pemerintah dengan jurnalis, dan adanya seorang arsitek di DisKominfo yang membuat keretakan.
Read More:
- 1 Wabup Solok H. Candra Berikan Motivasi kepada Peserta Sosialisasi Pajak Kendaraan Bermotor di X Koto Di Atas
- 2 Pascasarjana UMMY Solok Dukung Astacita Presiden RI Prabowo Subianto: Komitmen Bangun SDM Lewat Kampus
- 3 Didaulat Jadi Ketua Panitia Pelaksana Peringatan HUT RI ke-80, Fauzi: Akan Ada Zikir Bersama
Jangan sampai kepala daerah yang pertama kali dipimpin wanita di Sumatera Barat ini menikmati permainan yang diatur bawahannya. Jangan Bupati seolah terlena dengan strategi komunikasi semu ini, tanpa menyadari dampak jangka panjangnya.
Publik kini mulai meragukan kepemimpinan sang bupati, bukan karena substansi program, tetapi karena framing komunikasi yang buruk.
Marwah pemerintah daerah dipertaruhkan. Kebijakan yang seharusnya jadi solusi untuk rakyat, berubah menjadi tontonan drama tanpa akhir. Setiap sidak viral hanya berujung pada mundurnya pejabat, tanpa ada perubahan sistemik. Contoh paling nyata adalah sidak Alkal banyak aset daerah yang tak terdata, PAD yang bocor, tetapi penyelesaiannya hanya berhenti pada pencopotan jabatan. Rakyat melihatnya bukan sebagai keberanian, melainkan kegaduhan.
Seorang kabid dinas tersebut seharusnya berperan sebagai penghubung memastikan wartawan mendapat informasi yang layak, membangun hubungan yang sehat, dan melindungi citra bupati dengan cara yang kredibel. Jangan seorang Kabid senang tampil sebagai “selebritas birokrasi”, apalagi berupaya melangkahi seorang pimpinan terutama Kepala Dinas nya. Jadilah sebagai corong komunikasi, bukan pengatur skenario yang menempatkan dirinya di pusat panggung yang melebihi pimpinannya.
Masalahnya, panggung yang ia bangun bukanlah panggung solusi, melainkan arena konflik. Wartawan dijauhkan dari bupati, kritik semakin tajam, dan publik kehilangan kepercayaan. Bahkan menciptakan defisit kepercayaan, bukan defisit koordinasi semata.
Kepemimpinan Bupati Annisa kini menghadapi tantangan serius bukan hanya soal kebijakan, tetapi soal kepercayaan. Media, yang seharusnya menjadi mitra strategis dalam membangun daerah, justru berbalik menjadi oposisi. Semua ini akibat strategi sempit seorang kabid yang tidak paham ruang dan fungsi kewenangannya.
Kini masyarakat mulai melihat pemerintahan sebagai institusi yang lebih banyak bicara ketimbang bekerja. Mereka melihat drama, bukan hasil. Dan semua ini adalah buah dari permainan komunikasi yang salah arah.
Situasi ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Bupati Annisa harus menyadari bahwa membiarkan bawahannya terus bermain dengan pola komunikasi yang destruktif sama saja dengan menggali kubur bagi kredibilitasnya sendiri. Sebab ujung dari permainan ini bukan sekadar konflik dengan jurnalis, tetapi hilangnya kepercayaan masyarakat.
Seorang pemimpin tidak boleh dikelilingi oleh orang yang hanya pandai menciptakan panggung gaduh. Yang dibutuhkan adalah pejabat yang mampu membangun jembatan, menghadirkan solusi, dan mengembalikan kepercayaan.
Dan jika bupati masih membiarkan pejabat-pejabat seperti ini, maka sejarah akan mencatat bahwa runtuhnya kredibilitas pemerintahan di Dharmasraya bukan hanya karena kelemahan pemimpin, tetapi ulah bawahannya yang lupa diri akan tanggung jawabnya di Bidang nya masing-masing.
(NT)