KABAMINANG.com – Ketegangan antara Iran dan Israel yang meletus sejak 13 Juni 2025 terus memanas, menciptakan gelombang ketidakpastian di Timur Tengah. Konflik ini, yang dipicu oleh serangan udara Israel terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran, telah memicu reaksi balasan dari Teheran, termasuk peluncuran rudal balistik ke Tel Aviv. Di tengah eskalasi ini, Amerika Serikat (AS) berada pada posisi strategis yang kompleks, dengan kepentingan politik, militer, dan ekonomi yang signifikan.
Berikut adalah ulasan lengkap mengenai konflik ini dan peran AS di dalamnya.
Awal Mula Konflik
Konflik terbaru ini bermula pada 13 Juni 2025, ketika Israel melancarkan “Operasi Singa Bangkit” (Operation Rising Lion), menyerang fasilitas nuklir Iran di Natanz dan Arak, serta target militer di sekitar Teheran. Israel mengklaim serangan ini sebagai tindakan “pencegahan” untuk menghentikan program nuklir Iran, yang dituduh telah memperkaya uranium hingga 60%, mendekati ambang senjata nuklir.
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) sebelumnya melaporkan pelanggaran Iran terhadap Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT), meskipun Iran bersikeras bahwa program nuklirnya hanya untuk tujuan sipil.
Iran membalas dengan operasi “True Promise III,” meluncurkan ratusan rudal balistik dan drone ke Israel, menargetkan kota-kota seperti Tel Aviv dan Ramat Gan. Hingga 17 Juni 2025, serangan Israel telah menewaskan sekitar 224 orang di Iran, mayoritas warga sipil, sementara serangan Iran menyebabkan setidaknya 18 kematian di Israel.
Kepentingan Strategis Amerika Serikat
AS memiliki kepentingan strategis yang mendalam dalam konflik ini, yang mencakup keamanan sekutu, stabilitas ekonomi global, dan pengaruh geopolitik di Timur Tengah.
1. Dukungan untuk Israel
AS adalah sekutu utama Israel, menyediakan bantuan militer senilai miliaran dolar setiap tahun, termasuk sistem pertahanan udara yang membantu mencegat rudal Iran. Pada 14 Juni 2025, militer AS dilaporkan membantu Israel mengintersep serangan rudal Iran. Presiden AS, Donald Trump, telah menegaskan dukungannya untuk Israel, menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai “sahabat baik.” Namun, Trump juga menghadapi tekanan domestik dari pendukung gerakan “America First” seperti Marjorie Taylor Greene, yang menentang keterlibatan AS dalam konflik ini.
2.Pencegahan Program Nuklir Iran
AS dan Israel memiliki kekhawatiran yang sama terhadap potensi senjata nuklir Iran. Laporan IAEA yang menyebutkan kemampuan Iran untuk memproduksi hingga sembilan bom nuklir meningkatkan urgensi tindakan militer bagi Washington. Trump dikabarkan mempertimbangkan serangan langsung ke fasilitas nuklir Iran, seperti Pabrik Fordow, meskipun Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menegaskan AS tidak terlibat langsung dalam serangan Israel.
Read More:
- 1 Presiden Prabowo Subianto Disambut Hangat di Jeddah, Awali Kunjungan Kenegaraan ke Arab Saudi
- 2 Kunjungan Wakil Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi ke Kantor PPIH Makkah: Penguatan Kerja Sama Haji Indonesia-Arab Saudi
- 3 Kemendikdasmen dan Flinders University Gelar Simposium “Indonesia’s Future: A Multi-Disciplinary Approach” untuk Tingkatkan Kualitas Pendidikan
3. Stabilitas Ekonomi Global
Eskalasi konflik ini telah menyebabkan lonjakan harga minyak dunia, dengan harga minyak Brent mencapai US$74,23 per barel dan West Texas Intermediate (WTI) di US$72,98 per barel pada 16 Juni 2025. Kenaikan ini memicu kekhawatiran inflasi global, terutama bagi negara importir minyak seperti AS, China, dan India. Jika konflik berlarut-larut, harga minyak bisa mencapai US$100 per barel, mengancam pemulihan ekonomi global pasca pandemi.
4. Pengaruh Geopolitik di Timur Tengah
AS berupaya mempertahankan dominasi geopolitiknya di Timur Tengah, yang kini dihadang oleh pengaruh Rusia dan China. Rusia, yang menjalin kemitraan strategis dengan Iran, telah mengusulkan solusi diplomatik yang memastikan akses Iran ke energi nuklir sipil. Sementara itu, China meminta warganya meninggalkan Israel dan menyerukan deeskalasi.
Keterlibatan AS dalam konflik ini dapat memperkuat posisinya melawan Rusia dan China, tetapi juga berisiko memicu konflik regional yang lebih luas.
Perkembangan Terkini
Hingga 21 Juni 2025, konflik belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Iran mengancam akan keluar dari NPT jika serangan Israel berlanjut, sementara Israel bersikeras melanjutkan operasi militernya. Trump mengeluarkan ultimatum kepada warga Teheran untuk mengungsi, dan AS mengerahkan tambahan pesawat tanker dan pengebom B-2 ke Timur Tengah, menandakan potensi keterlibatan militer yang lebih besar.
Komunitas internrena dunia, termasuk Indonesia, mengecam serangan Israel dan menyerukan gencatan senjata. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer juga mendorong deeskalasi, tetapi upaya diplomatik, seperti perundingan di Oman, telah gagal karena ketegangan yang meningkat.
Risiko ke Depan
Eskalasi konflik ini berpotensi meluas menjadi perang regional, melibatkan kelompok proksi Iran seperti Hizbullah dan Houthi, serta sekutu AS di kawasan. Jika AS secara aktif terlibat, risiko serangan Iran terhadap kepentingan AS di Timur Tengah, seperti pangkalan militer di Irak, akan meningkat. Selain itu, gangguan ekspor minyak dari Timur Tengah dapat memperburuk krisis ekonomi global, sementara ketegangan geopolitik dapat memperumit hubungan AS dengan Rusia dan China.
Konflik Iran-Israel 2025 menempatkan AS pada posisi yang rumit. Di satu sisi, AS harus mendukung Israel sebagai sekutu strategis dan mencegah ancaman nuklir Iran. Di sisi lain, keterlibatan langsung berisiko memicu perang yang lebih luas dan mengganggu stabilitas ekonomi global. Keputusan Trump dalam beberapa hari ke depan akan menentukan arah konflik ini, apakah menuju deeskalasi atau eskalasi yang lebih berbahaya.
(KBM)