Scroll untuk baca artikel

ArtikelBERITA

Politik, Harapan, dan Kenyataan: Menjaga Asa dalam Demokrasi

×

Politik, Harapan, dan Kenyataan: Menjaga Asa dalam Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Syaiful Rajo Bungsu

KABAMINANG.com Dalam sistem demokrasi, harapan masyarakat menjadi denyut utama yang menggerakkan proses politik. Namun, sering kali antara harapan, ekspektasi, kenyataan, dan realita tidak berjalan seiring. Ketika janji-janji politik bertemu dengan dinamika pemerintahan yang kompleks, masyarakat mulai menimbang, sejauh mana harapan mereka dijawab dengan langkah nyata?

Menyikapi Jarak antara Retorika dan Realita

Realita adalah kondisi faktual yang bisa diukur dan diuji secara objektif. Misalnya, data BPS tahun 2022 mencatat bahwa lebih dari 30 juta pekerja Indonesia masih tergolong rentan secara ekonomi. Di sisi lain, pidato-pidato politik sering menggambarkan optimisme yang tinggi terhadap kemajuan bangsa. Meski semangat itu patut diapresiasi, penting untuk tetap menimbangnya secara kritis agar tidak menjauh dari realita sosial.

Kenyataan yang dialami masyarakat sehari-hari seperti akses pendidikan, lapangan kerja, atau layanan kesehatan tak selalu selaras dengan indikator makro yang membaik. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mengungkapkan bahwa mayoritas responden belum merasakan perbaikan signifikan dalam ekonomi rumah tangga mereka, meskipun inflasi nasional terjaga. Artinya, retorika politik perlu dibumikan agar sesuai dengan pengalaman nyata masyarakat.

Ekspektasi Politik dan Kapasitas Realisasi

Ekspektasi publik terhadap kepala daerah atau pejabat terpilih kerap terbentuk dari janji kampanye yang idealistik. Namun, seperti diingatkan oleh Prof. Syamsuddin Haris (BRIN) dalam Forum Demokrasi BRIN 2023, “Banyak janji politik yang tidak disusun berdasarkan kerangka kebijakan yang realistis. Akibatnya, ekspektasi melambung sementara kebijakan berjalan terseok.”
Dalam kondisi seperti ini, pemimpin yang bijak dan realistis akan memilih membatasi janji, tapi memastikan pelaksanaan. Pemimpin seperti ini akan mengukur kapasitas daerah dan memaksimalkan potensi yang tersedia, tanpa menciptakan harapan semu.

Harapan dan Peran Etis Kepemimpinan

Harapan publik adalah energi sosial yang kuat. Namun harapan juga harus dikelola secara etis agar tidak berubah menjadi kekecewaan kolektif. Kepemimpinan yang bijak akan mengakui batas-batas kemampuannya, dan menumbuhkan kepercayaan publik melalui konsistensi antara ucapan dan tindakan.

Sebagaimana pesan Nelson Mandela, “Sebuah visi tanpa tindakan hanyalah mimpi; tindakan tanpa visi hanyalah kesibukan; visi dengan tindakan dapat mengubah dunia.” Harapan perlu dijaga melalui visi yang kuat, langkah yang terukur, dan komunikasi yang jujur.

Isu Penempatan ASN dan Narasi Publik

Dalam konteks lokal, salah satu isu yang mengemuka pasca pilkada adalah penempatan ASN dalam jabatan struktural. Tidak jarang muncul anggapan bahwa ASN yang dilantik adalah mereka yang dianggap mendukung kepala daerah terpilih. Namun fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa yang dilantik tidak hanya ASN yang mendukung kepala daerah saat pilkada, tetapi juga ASN yang dikenal pernah mendukung calon lain, meski tidak pernah terbukti secara hukum oleh Bawaslu.

Hal ini menunjukkan bahwa proses penempatan ASN tidak semata-mata berbasis politik, tetapi juga mempertimbangkan profesionalitas, kebutuhan organisasi, dan kapasitas individu. Penilaian publik terhadap dinamika ini haruslah proporsional, berdasarkan data dan prosedur kepegawaian yang sah.

Fenomena lain yang kadang menjadi polemik adalah ketika istri kepala daerah yang merupakan ASN dilantik ke jabatan struktural. Pandangan negatif kerap muncul, seolah ada nepotisme. Padahal dalam beberapa kasus, yang bersangkutan memang telah memiliki jenjang karier birokratik jauh sebelum pasangan hidupnya menjabat.

Melalui perspektif realita, dapat dilihat bahwa tidak semua penunjukan merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Dari sudut kenyataan, persepsi publik cenderung terbentuk oleh opini yang belum tentu berdasarkan bukti. Ekspektasi masyarakat terhadap netralitas birokrasi tentu harus dihormati, namun harapan terhadap keadilan dalam karier ASN juga harus dijaga. Penilaian seharusnya bertumpu pada transparansi prosedur dan kompetensi, bukan semata relasi keluarga.

Masyarakat dan Kematangan Politik

Masyarakat yang melek politik adalah benteng terakhir demokrasi. Jika masyarakat dapat memilah antara persepsi dan fakta, maka ruang demokrasi akan menjadi lebih sehat. Sayangnya, survei CSIS 2023 menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih masih terpengaruh oleh citra ketimbang substansi. Ini menjadi catatan penting bagi kita semua: bahwa demokrasi yang kuat lahir dari pemilih yang sadar, bukan sekadar simpatik.

Penutup: Menata Ulang Asa Politik

Demokrasi bukan panggung pencitraan, tapi ruang pelayanan publik. Ketika harapan tidak sejalan dengan kenyataan, maka perlu ada evaluasi kolektif. Para pemimpin harus mengukur janji sesuai kapasitas, dan masyarakat perlu menuntut dengan kewaspadaan, bukan kecurigaan berlebihan.

Penempatan ASN baik yang sempat dianggap loyal kepada kepala daerah, maupun yang diketahui mendukung calon lain adalah bagian dari dinamika pascapilkada yang perlu dikawal dengan regulasi dan integritas. Selama dilakukan sesuai prosedur dan prinsip meritokrasi, maka publik perlu memberi ruang kepercayaan, bukan hanya ruang curiga.

Kita semua memiliki tanggung jawab moral untuk tidak terjebak dalam prasangka yang melemahkan institusi. Politik yang adil dan birokrasi yang profesional hanya bisa tumbuh jika kita melihat dengan jernih, bersikap bijak, dan menyuarakan kritik dalam bingkai keadaban. Dengan cara itulah demokrasi kita tidak hanya hidup, tetapi juga bermartabat.