Scroll untuk baca artikel

ArtikelBERITA

Menjual Mimpi Danau Kembar, Melupakan Luka Danau Singkarak Yang Terabaikan….

×

Menjual Mimpi Danau Kembar, Melupakan Luka Danau Singkarak Yang Terabaikan….

Sebarkan artikel ini

KABAMINANG.com“Pemerintah Kabupaten Solok tengah gencar mengembangkan kawasan Danau Kembar sebagai pusat pariwisata baru. Namun geliat pembangunan ini justru menimbulkan pertanyaan,  mengapa kawasan Danau Singkarak yang lebih dulu dikenal dan lebih bermasalah justru luput dari perhatian? Apakah ini bentuk kesengajaan politik untuk menghindari masalah lama?”

Dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Solok tahun 2024, kawasan Danau Kembar disebut secara eksplisit sebagai prioritas strategis pengembangan pariwisata berbasis alam dan budaya. Bahkan, dalam Musrenbang 2024, kawasan ini masuk ke dalam usulan skala prioritas yang dipresentasikan ke kementerian terkait, termasuk Kementerian Pariwisata dan Bappenas.

Namun, di balik semangat pembangunan ini, publik bertanya, bagaimana dengan nasib Danau Singkarak?

Menurut Kajian Tekanan Lingkungan Kawasan Danau Singkarak oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat (2023), sekitar 63% sempadan danau mengalami tekanan ekologis tinggi. Penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan, pertumbuhan permukiman, dan maraknya aktivitas tambang ilegal.

Selain itu, dalam paparan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI melalui program Koordinasi Supervisi Pencegahan Korupsi (Korsupgah) tahun 2022, Kabupaten Solok menjadi salah satu daerah yang diminta segera menertibkan perizinan tambang, penataan ruang di sepadan danau dan potensi konflik lahan di kawasan Danau Singkarak. KPK juga menggarisbawahi pentingnya keterbukaan informasi dan pengawasan publik atas pengelolaan aset sumber daya alam.

Namun hingga pertengahan 2025, tidak ditemukan dokumen resmi Pemkab Solok yang memuat laporan tindak lanjut konkret atas rekomendasi KPK tersebut. Belum terlihat adanya revisi RTRW, peninjauan kembali izin tambang, pembangunan disepanjang sepadan danau ataupun program penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi.

Sebaliknya, perhatian pemerintah tampak dialihkan ke kawasan Danau Kembar. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan roadmap pengembangan pariwisata 2023–2026, kawasan Danau Kembar disebut sebagai “ikon baru” destinasi unggulan. Pemerintah daerah bahkan mengusulkan skema pendanaan multi-pihak termasuk BUMD, CSR swasta, dan dana APBN untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur wisata di sana.

Tidak salah jika Danau Kembar dikembangkan. Potensinya memang nyata. Tetapi sorotan yang berlebihan terhadap kawasan baru, sambil mengabaikan masalah lama yang krusial, menimbulkan dugaan kuat adanya praktik “avoidance politics” strategi menghindari persoalan kompleks dengan mengalihkan perhatian ke proyek baru yang lebih “bersih” secara politik dan lebih mudah dijual secara visual.

Padahal, jika dibiarkan, permasalahan di kawasan Danau Singkarak bukan hanya akan merusak ekosistem danau, tetapi juga bisa meledak menjadi krisis tata kelola sumber daya alam. Laporan Kompas edisi Juli 2023 mencatat, sedikitnya ada beberapa titik tambang ilegal yang beroperasi aktif dan pembangunan di sepadan danau singkarak tanpa AMDAL dan tanpa pengawasan langsung dari pemerintah kabupaten.

Kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah bisa runtuh jika persoalan ini terus diabaikan. Investasi tidak akan datang ke daerah yang fondasinya rapuh, baik secara lingkungan, sosial, maupun hukum.

Maka, prioritas pemerintah semestinya tidak hanya membangun kawasan baru, tapi juga berani menyelesaikan luka lama. Danau Singkarak harus mendapat perhatian yang sama besar. Langkah konkret seperti peninjauan ulang izin, penghentian tambang ilegal, pembangunan sepanjang sepadan danau dan keterbukaan dalam penataan ruang kawasan danau singkarak harus segera dilakukan.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Solok memiliki kewajiban moral dan politik untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan kawasan strategis seperti ini. Media dan masyarakat sipil juga harus berani bersuara, agar pembangunan tidak semata menjadi kemasan, melainkan juga penyembuh luka yang selama ini disembunyikan.

Karena membangun masa depan berarti juga memperbaiki masa lalu. Sebab, kemajuan daerah bukan dinilai dari seberapa indah kawasan baru yang dibangun, tapi dari seberapa jujur dan berani kita menyelesaikan masalah lama yang tertinggal.

Oleh: Syaiful Rajo Bungsu