Scroll untuk baca artikel

POJOK OPINI

Menuju Cahaya di Hari Jumat: Masjid sebagai Pelipur Lara

×

Menuju Cahaya di Hari Jumat: Masjid sebagai Pelipur Lara

Sebarkan artikel ini

Kabaminang.com – Pojok Opini, Dalam hidup ini, tak selamanya jalan yang kita lalui dihiasi bunga dan wangi mawar. Ada kalanya kita mendapati diri sibuk dengan urusan-urusan duniawi yang seolah tak pernah selesai. Beban pikiran menumpuk, hati terasa berat, dan harapan pun seakan-akan lenyap ditelan hiruk-pikuk kehidupan. Ketika itu terjadi, manusia sering kali kehilangan arah, mencari pelipur lara namun tak kunjung menemukan. Di tengah kegundahan itu, ada tempat yang senantiasa terbuka untuk menenangkan jiwa: masjid.

Hari Jumat adalah hari istimewa dalam Islam. Rasulullah SAW menyebutnya sebagai “sayyidul ayyam” atau pemimpin hari-hari. Ia hari penuh keberkahan, hari berkumpulnya kaum Muslimin untuk melaksanakan salat Jumat, mendengarkan khutbah, dan memanjatkan doa bersama. Bagi seorang hamba yang hatinya sedang dilanda resah, melangkahkan kaki menuju masjid pada hari Jumat adalah sebuah langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar.

Masjid adalah tempat di mana dunia dan akhirat bertemu. Ia bukan sekadar bangunan dengan mihrab dan mimbar, melainkan rumah Allah, tempat seorang hamba mengadu, memohon, dan merenungi diri. Masjid mengingatkan kita bahwa apa yang kita cari di dunia ini hanyalah bayangan semu. Di sinilah segala kesibukan duniawi dapat ditinggalkan sejenak, diganti dengan ketenangan yang datang dari zikir dan doa.

Ketika kita masuk ke dalam masjid, dunia yang hiruk-pikuk seolah berada di luar pintu. Suasana tenang dan damai menyelimuti, mengajak kita untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam kesunyian masjid, seorang hamba dapat berbicara dengan Tuhannya tanpa perantara. Di sanalah air mata yang tertahan bisa mengalir deras, mencuci hati yang penuh noda.

Pada hari Jumat, masjid penuh dengan jamaah yang datang dari berbagai latar belakang. Mereka meninggalkan pekerjaan, kesibukan, bahkan urusan keluarga untuk memenuhi panggilan Ilahi. Di antara mereka mungkin ada yang hatinya sedang gundah, serupa dengan kita. Namun, tatapan mata mereka yang penuh harap dan ketulusan mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki beban, tetapi juga memiliki Tuhan yang Maha Mendengar.

Khutbah Jumat adalah momen istimewa. Khatib dengan suaranya yang penuh hikmah mengingatkan jamaah tentang kebesaran Allah, pentingnya bersyukur, dan bagaimana menjalani hidup ini dengan penuh keikhlasan. Kata-kata yang keluar dari mulut khatib bukan sekadar nasihat, melainkan obat bagi hati yang sedang terluka. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang disampaikan menggugah kesadaran kita, mengingatkan bahwa dunia ini hanyalah tempat singgah.

Seorang ulama besar, Buya Hamka, pernah berkata, “Hidup ini adalah perjuangan, dan perjuangan itu tidak akan pernah selesai sampai kita dipanggil oleh-Nya.” Kata-kata ini menjadi pengingat bahwa kesibukan dan masalah yang kita hadapi adalah bagian dari kehidupan. Namun, Allah tidak pernah membebani hamba-Nya di luar kesanggupannya. Dalam setiap kesulitan, selalu ada jalan keluar, dan salah satu jalan itu adalah dengan mendekatkan diri kepada-Nya.

Setelah salat Jumat selesai, hati terasa lebih ringan. Beban yang sebelumnya terasa menekan dada mulai berkurang. Ada semacam energi baru yang mengalir dalam tubuh, mengingatkan bahwa setiap masalah memiliki solusi, dan solusi terbaik adalah berserah diri kepada Allah.

Hari Jumat juga mengajarkan kita untuk peduli pada sesama. Dalam khutbah, sering kali disebutkan pentingnya sedekah dan saling membantu. Setelah keluar dari masjid, jangan ragu untuk berbagi, entah itu dengan memberikan uang kepada yang membutuhkan atau sekadar memberikan senyuman kepada orang lain. Ketika kita meringankan beban orang lain, Allah pun akan meringankan beban kita.

Di luar itu, masjid juga menjadi tempat untuk bersosialisasi, bertemu saudara seiman, dan mempererat ukhuwah Islamiyah. Terkadang, percakapan ringan dengan sesama jamaah dapat membawa kebahagiaan tersendiri. Kita menyadari bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi kehidupan ini.

Kembali pada pesan Buya Hamka, hidup adalah perjuangan, tetapi ia juga adalah perjalanan menuju Allah. Masjid adalah salah satu pemberhentian penting dalam perjalanan itu. Di sana, seorang hamba tidak hanya mengistirahatkan tubuhnya, tetapi juga menenangkan jiwanya.

Jadi, ketika hari-harimu terasa berat, ketika kesibukan dunia membuatmu kehilangan arah, ingatlah masjid. Ingatlah hari Jumat yang penuh keberkahan. Melangkahkan kaki menuju masjid bukan sekadar menjalankan kewajiban, melainkan juga mencari ketenangan, keberkahan, dan cinta dari Sang Pencipta.

Masjid selalu terbuka, menunggu kita untuk datang. Hanya dengan melangkah ke dalamnya, kita sudah memulai perjalanan menuju kedamaian sejati. Di sana, dalam keheningan dan sujud, kita menemukan diri kita kembali, sebagai hamba yang lemah namun dicintai oleh Allah yang Maha Pengasih.

Pada akhirnya, seperti yang Buya Hamka sering sampaikan, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan kegelisahan. Maka, temukanlah kebahagiaan dalam sujud, ketenangan dalam zikir, dan kedamaian dalam doa. Hari Jumat adalah momentum untuk memulai itu semua, dan masjid adalah tempat terbaik untuk mengawalnya.

Masjid bukan hanya rumah Allah, tetapi juga rumah bagi hati yang mencari ketenangan.

(TKB)