Kabaminang.com – Korsel, Pada Selasa malam, 3 Desember 2024, Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, mengejutkan publik dengan pengumuman keadaan darurat militer, langkah pertama yang diambil sejak 1980-an.
Dalam pidato yang disiarkan langsung di televisi, Yoon menuduh oposisi, khususnya Partai Demokrat, terlibat dalam “kegiatan anti-negara” yang berpotensi merencanakan pemberontakan. Ia menyatakan bahwa langkah ini diambil untuk melindungi tatanan kebebasan konstitusional dan memberantas kekuatan pro-Korea Utara yang dianggap mengancam stabilitas negara.
Pengumuman darurat militer ini muncul di tengah ketegangan politik yang meningkat, di mana Partai Demokrat yang beroposisi mengajukan rancangan undang-undang anggaran yang diperkecil dan mosi pemakzulan terhadap auditor negara dan jaksa penuntut umum.
Yoon, yang menghadapi kesulitan dalam memaksakan agendanya di parlemen yang dikuasai oposisi, menggambarkan situasi ini sebagai ancaman serius terhadap keberlangsungan Republik Korea.
Pengumuman ini segera menuai kritik keras dari berbagai kalangan, termasuk pemimpin Partai Demokrat, Lee Jae-myung, yang menyebut tindakan tersebut sebagai inkonstitusional.
Dalam waktu kurang dari enam jam setelah pengumuman, Yoon Suk Yeol terpaksa mencabut keadaan darurat militer setelah Majelis Nasional memberikan suara menolak langkah tersebut. Yoon mengakui bahwa keputusan untuk mencabut darurat militer diambil sebagai respons terhadap desakan dari parlemen.
Read More:
- 1 Presiden Pimpin Upacara Hari Bhayangkara ke-79 di Monumen Nasional
- 2 Kemendikdasmen dan Flinders University Gelar Simposium “Indonesia’s Future: A Multi-Disciplinary Approach” untuk Tingkatkan Kualitas Pendidikan
- 3 Kementerian ATR/BPN Bantah Hoaks: Tanah Girik, Verponding, dan Letter C Tidak Diambil Negara pada 2026
Krisis yang terjadi di Korea Selatan mencerminkan ketegangan politik yang mendalam dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan Yoon Suk Yeol.
Meskipun langkah darurat militer diambil dengan alasan melindungi negara dari ancaman, reaksi cepat dari parlemen dan masyarakat menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap kebijakan pemerintah saat ini.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi kembalinya gaya pemerintahan otoriter di Korea Selatan, yang telah berjuang untuk mempertahankan demokrasi sejak 1980-an.
((TKB))